SAUDARA SERUMPUN (Kontribusi untuk Hubungan Indonesia-Malaysia)


by : Heru Susetyo

(Writer’s note : cerpen ini pernah dimuat di majalah Annida tahun 2008, saya re-posting di FB sebagai kontribusi bagi hubungan Indonesia Malaysia, secara khusus bagi teman-teman Indonesia dan Malaysia saya di Facebook -HS)

I hate Indon !
Malingsia !
I hate Indon !
Malingsia !
I hate Indon!
Malingsia !

Demikianlah Agung dan Rashid saling bertukar sapa apabila berpapasan di kampus Thammasat University, Phra Chan, Bangkok. Agung adalah mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa pemerintah Thailand untuk studi Master bidang Thai Studies. Rashid adalah juga penerima beasiswa yang sama, namun ia berasal dari Johor, Malaysia. Agung dan Rashid bak pinang dibelah dua. Ibarat kembar tidak identik. Ibarat Thompson dan Thomson dalam komik Tintin.

Hidup di Bangkok, dimana sangat sedikit menemukan manusia berbahasa Melayu membuat mereka cepat akrab. Selalu pergi berdua kemana-mana Apabila mereka berbeda jenis kelamin, mungkin sudah terjadi cinta lokasi.

Tapi itu dulu. Sebelum pelatih karate Indonesia digebuki di Selangor, Malaysia. Sebelum Rasa Sayange dijadikan lagu pariwisata Malaysia. Sebelum Malaysia menerima muntahan asap dari Sumatera dan Kalimantan. Sebelum TKI tak terdaftar membanjiri dan menyulitkan pemerintah Malaysia.

Kini, Agung memandang Rashid bak maling. Dan Rashid memandang Agung bak TKI tak terdaftar yang disebut pendatang haram di Malaysia. Diperburuk lagi dengan lahirnya situs internet http://www.ihateindon. com dan http://www.malingsia. com yang tak jelas siapa webmaster-nya.

Yang lebih jelas adalah Agung terprovokasi. Ia tak suka disebut `Indon` yang konon berkonotasi budak. ”Panggil aku orang Indonesia, jangan disingkat jadi `Indo` atau `Indon`.” ujar Agus penuh emosi. Rashid juga terprovokasi. ”Janganlah awak sebut saya punya negeri Malingsia. Itu adalah bahagian daripada jinayah. Penghinaan,” tutur Rashid dalam logat Johor yang lumayan kental.

Maka `perceraian` pun terjadi. Agung dan Rashid `pisah ranjang.` Tak melalui masa iddah. Langsung talak tiga. Tak ada lagi agenda jalan-jalan ke Mahboonkrong dan pasar Chatuchak di Sabtu siang. Tak ada lagi Shalat Jum`at bersama di Soi 7 Petchburi road. Tak ada lagi jogging bersama di Suan Lumpini setiap Ahad pagi dan bersepeda ria di Suan Rot Fai. Tak ada lagi agenda ber-badminton ria di KBRI Petchburi Road dan bertennis ria di Malaysian Embassy Sathorn Tai road. Pusat Perdagangan IT dan Computer di Panthip Plaza, juga kehilangan mereka. Karena mereka emoh menginjak surga penikmat komputer ini apabila datang berduaan.

(Kampus Thammasat University, Phra Chan Bangkok)
”Para mahasiswa sekalian. Saya ada kabar gembira. Sebagai bagian dari kuliah kita, saya menugaskan anda untuk mengikuti simposium kebudayaan di beberapa negara Asia. Ini adalah momentum terbaik untuk komunikasi antar budaya setelah anda belajar budaya Thai selama dua semester,” ujar Ajarn Surichai pada saat awal kuliah. “Ada beberapa universitas yang mengadakan simposium pada waktu yang sama, yaitu Kyoto di Jepang, Shanghai di China, Kaohsiung di Taiwan, Dubai di Emirat Arab, Istanbul di Turki, Bandung di Indonesia dan Penang di Malaysia. Kalian akan berangkat dengan biaya universitas. Biaya transportasi, akomodasi, termasuk perdiem semua ditanggung universitas, ” lanjut Ajarn Surichai lagi. ”Puji Tuhan,” ujar Anita Chan, mahasiswa Singapura. ”Alhamdulillah ujar Rashid.” ”Mantap, jalan-jalan euy !” teriak Agung pelan.

Belum lagi Ajarn Surichai menuntaskan informasinya. Agung sudah menginterupsi.
”Ajarn, saya pilih ke Kyoto. Saya ingin melihat ibukota tua Jepang itu di musim gugur. Pasti cantik dengan banyaknya pohon yang memerah.”
Rashid tak mau kalah. ”Ajarn Surichai, please kirim saya ke Istanbul. Saya ingin menikmati Masjid Hagia Sophia dan warisan budaya Islam abad pertengahan di Bumi Eropa.
” ”Ajarn Surichai, saya pilih Dubai, kendati Emirat Arab adalah negeri Islam, namun Dubai adalah kota termaju di dunia saat ini. Saya ingin menikmati gedung tertinggi di dunia, Burj Al Dubai. Pasti asyik memandang jazirah Arab dari ketinggian 800 meter,” tutur Anita Chan polos.

”Tidak. Saya yang memutuskan. Bukan kalian. Dan saya sudah memutuskan. Michiko-san, karena anda orang Jepang anda saya kirim ke Shanghai. Anita Chan, karena anda keturunan Tionghoa, anda saya kirim ke Kaohsiung, Taiwan. So Young Park, karena kamu orang Korea Selatan, kamu saya kirim ke Kyoto, Jepang. Hussein, karena kamu dari Yordania, kamu saya kirim ke Istanbul. Naufal karena asli Yaman silakan pergi ke Dubai, Emirat Arab. Dan anda berdua, wahai warga Melayu, karena bahasa dan kultur anda nyaris sama silakan saling bertukar tempat. Agung, kamu pergi ke Penang Malaysia. Dan kamu, Rashid, pergi simposium ke Bandung,” Ajarn Surichai menjelaskan dengan tenang.

Gubrak!!! Agung seperti tertimpa meteor dari Jupiter. ”Tapi Ajarn, saya tak ingin ke Malaysia,” protes Agung. ”Ajarn, saya juga emoh ke Indonesia,” protes Rashid. Keduanya lalu saling bertukar pandangan sinis. ”huh!” sungut Agung kepada Rashid. ”Yikes!” balas Rashid kepada Agung sambil melotot.
”Tidak, Agung dan Rashid. Saya sudah memutuskan. Silakan kemasi barang kalian dan siap berangkat pekan depan. Hubungi Khun Waraporn di kantor International Students untuk arrangement ticket dan akomodasi,” jawab Ajarn Surichai santai.
”I hate Indon!” sungut Rashid kepada Agung.
”Malingsia!” balas Agung tak mau kalah.

(Bandara Bayan Lepas, Penang)
Dengan langkah gagah, sedikit arogan malah, Agung siap memasuki counter imigrasi airport Bayan Lepas, Penang. Ia mengenakan dasi dan jas. Sangat resmi. Entah terpengaruh cerita darimana. Ia sangat khawatir dianggap TKI. ”Apa pekerjaan Encik?” tanya petugas imigrasi ramah. ”I am an assistant professor in Indonesia, currently pursuing Master degree in Thailand.” Agung menjawab dalam bahasa Inggris. Sengaja, biar dianggap intelek dan tidak disamakan dengan TKI, ujar Agung dalam hati. Tapi sejatinya ia bukan asisten professor, mana ada asisten profesor masih bergelar S1? ”Nak berapa lama Encik Agung duduk di Malaysia, untuk tujuan apa, sila dikemukakan ?” tanya sang petugas lagi. ”Cik, this is actually not your business to ask me such questions, anyway, let me tell you that I am an honorable guest to give speech at Universiti Sains Malaysia’s workshop tomorrow.” Jawab Agung sombong. Dan juga bohong. Ia bukan pembicara kok. Hanya partisipan biasa. Sang petugas hanya tersenyum simpul. “Oke Cik, ini paspor anda. Sebagai ASEAN citizen encik boleh duduk di Malaysia untuk tiga puluh hari mulai tarikh sekarang.” Agung tersenyum menang. Berlalu dengan angkuh. Tanpa berterima kasih pula. Rasain lu, ujarnya dalam hati.

(Bandara Husen Sastranegara, Bandung)
Rashid turun dari pesawat Airbus A320 Air Asia. Penuh dengan kebanggaan ia menaiki maskapai pelopor low cost carrier milik Malaysia ini. Rasain kamu Agung, katanya dalam hati. Kamu ke Penang dengan Air Asia. Aku juga ke Bandung dengan Air Asia. Keduanya pesawat Malaysia. Mana ada pesawat Indonesia terbang ke luar negeri. Mendarat di Eropa saja dilarang.
Setelah satu kali transit di Kuala Lumpur, ia melanjutkan dengan direct flight menuju Bandung. Kesan pertamanya mendarat di Bandung adalah…berantakan. Bandara kok di tengah kota. Kotor. Hmmm, mereka harus melihat KL International Airport yang super megah dan Kota baru Putrajaya yang sangat multimedia-equipped , ujar Rashid dalam hati.
“Apa pekerjaan Bapak dan untuk keperluan apa ke Bandung?” tanya petugas imigrasi ramah. Ia menggunakan bahasa Indonesia karena paham orang di depannya adalah warganegara Malaysia. Sebenarnya Rashid ingin menjawab dalam bahasa Indonesia. Namun ia ingin meyakinkan orang di depannya bahwa ia warga negara terhormat negeri tetangga. “ I am an assistant professor. I was invited to give speech at a workshop organized by Padjajaran University,” Rashid menjawab dalam bahasa Inggris. Tentu saja bohong. Kata siapa ia asisten professor. Memang di Universiti Teknologi Malaysia Skudai-Johor, ia sudah tercantum sebagai calon asisten magang. Masih magang sebagai calon asisten. Bukan Asisten Professor.
”Oh, welcome to Bandung Encik. Here is your passport,” lanjut petugas imigrasi lagi. “Thank you!” jawab Rashid penuh kemenangan. Sebenarnya ia bisa saja menjawab `terima kasih`, namun egonya menahannya untuk mengucapkan kalimat tersebut.

(Di dalam Taksi Menuju USM Penang)
“Friend, please take me to USM!” ujar Agung kepada supir taksi yang menunggu di luar Bandara Bayan Lepas. Tetap menggunakan bahasa Inggris. Biar terkesan intelek. “Oh sila Bang, nak conference –kah?” supir taksi menjawab dalam bahasa Melayu. Tahu bahwa tampang penumpangnya ini tampang Melayu. “Yes I am an honorable professor from Indonesia. I am here to give speech at USM,” jawab Agung lagi. Tetap sombong. Dan tetap bohong. “Ah, seronok sekali Encik. Saya keturunan daripada Cina, tapi saya punya famili di Jakarta, Semarang, dan Surabaya,” ujar sang supir tanpa ditanya. Emang gua pikirin, jawab Agung dalam hati.

Belum lama beranjak dari Bayan Lepas Agung terkesiap. Ia baru sadar bahwa sejak masuk taksi tadi sang supir tengah menikmati lagu ‘Ada Apa Denganmu’ dari Peterpan. Sepanjang perjalanan ia mengangguk-anggukka n kepalanya dan bersiul mengikuti suara Ariel Peterpan. Usai hits Peterpan diputar, ia menggantinya dengan hits Ratu. Kini ia bersiul-siul mengikuti suara Maia Ahmad dan Mulan Kwok dalam Teman Tapi Mesra (TTM). “Hey friend, why do you sing Indonesian songs, because of me?” Tanya Agung penasaran. “Tak lah Cik, lagu Indonesia sangat famous disini. Ramai budak-budak belia Malaysia senang dengan grup muzik daripada Indonesia. Lebih kreatif dan enerjik. Tak sama lah dengan lagu-lagu daripada Malaysia. Tarikh 17 Disember nanti di Menara KOMTAR (Komplek Tunku Abdul Razak –pen.) Penang nak ada perfomance dari Dewa 19. Saya nak datang lah, nak jumpa Ahmad Dhani dan Once Dewa.” ”Hah!!!” Agung kaget sendiri.

(Di dalam Taksi Menuju Unpad Bandung)
“Bro, please take me to UNPAD campus, Dipati Ukur!” ujar Rashid sesegera setelah keluar dari Bandara Husen Sastranegara. “Apa Tuan, maaf saya tak bisa bahasa Inggris. Memang Tuan bukan orang Indonesia?” kok wajah Tuan mirip orang Sunda?” tanya supir taksi polos. Dasar Indon, bahasa Inggris saja tidak bisa, sungut Rashid dalam hati. Sementara orang Malaysia saja sekarang sudah ada yang jadi kosmonot. Ikut misi luar angkasa Rusia Oktober lepas, tambah Rashid dalam hati.

”Saya orang Malaysia, sekarang tolong bawa saya ke kampus UNPAD Dipati Ukur!” jawab Rashid dalam bahasa Indonesia yang lancar. Ia menekankan betul kalimat ”Saya orang Malaysia.” ”Oh orang Malaysia. Apa kabar Encik? Istri saya sekarang kerja di Alor Setar, Kedah. Jadi maid di rumah orang Cina.” tambah supir taksi. ”Oh ya?” hanya itu respon Rashid. Datar. Tak heran lah kalau Indon jadi maid, ramai Indon jadi maid di Malaysia, ujar Rashid, tentu saja dalam hati.

Selepas dari Bandara Husen Sastranegara, barulah Rashid sadar bahwa sedari tadi sang supir memutar tembang Cindai, yang dilagukan Siti Nurhaliza. Usai Cindai, Siti melantunkan lagu Jika karya Melly Goeslaw berduet dengan Ari Lasso. Usai Jika, Siti berduet dengan Ariel Peterpan dalam tembang Mungkin Nanti. Supir Sunda ini menikmati betul suara Siti. ”Heh Bang, jangan kerana saya daripada Malaysia, awak mainkan lagu Siti Nurhaliza!” kata Rashid geram. ”Tak lah Cik, sebelum Encik masuk teksi saya, saya sudah setel lagu Siti. Saya penggemar berat Siti. Dan bukan hanya saya, ribuan orang Indonesia senang dengan Siti Nurhaliza. Kerana ia berbusana sopan dan tentu saja, cantik ala Melayu,” sergah supir taksi. “Dan asal encik tahu saja, apabila nanti Encik jumpa dengan mahasiswa UNPAD, tanya saja siapa muslimah idola mereka. Pasti mereka jawab Nurul Izzah, putri mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Abraham yang cantik namun nampak shalihah itu,” lanjut supir taxi. “Hah!!!” Rashid tak percaya. Ternyata Siti Nurhaliza dan Nurul Izzah lebih popular di Indonesia daripada di Malaysia.

(Conference Room, USM – Penang)
Di tengah-tengah rehat workshop, Agung duduk semeja dengan lima orang Malaysia. Mereka semua adalah dosen di USM Malaysia. “Darimana Cik, oh daripada Indonesia, apa kabar? saya juga pernah studi di ITB Bandung ketika studi sarjana mechanical engineering dulu,” ujar Dosen I. “Ah dari Indonesia, piye kabare, Mas? saya punya famili di Kebumen dan Purworejo. Grandfather saya berasal dari Jawa, tapi ayah saya hijrah ke Johor, Malaysia. Hingga saya lahir di Malaysia dan jadi citizen Malaysia. Jadi maaf saya tak boleh cakap bahasa Jawa,” ujar Dosen II. “Darimana Bang, oh Indonesia. Gimana akhbar Dian Sastro dan Nia Ramadhani? Saya penggemar mereka kerana saya senang movie dan Sinetron Indonesia, lebih kreatif dari film Malaysia!” tambah Dosen III. “Darimana Pak, ah Indonesia, ahlan wasahlan fi Penang. Saya punya dua anak sekarang belajar di pondok pesantren Gontor. Satu di Pesantren putra di Ponorogo, satu lagi di pesantren putri Mantingan, Ngawi,” ujar Dosen IV penuh kebanggaan. “Darimana Bang, Ah Indonesia. Saya kagum betul dengan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Kami tak bebas berdemo dan unjuk rasa di Malaysia kerana ada Internal Security Act (ISA),” ujar Dosen V yang juga aktivis LSM.

(Ruang Konferensi UNPAD, Bandung)
Usai workshop, Rashid duduk semeja dengan lima Dosen UNPAD. Berbasa-basi menunggu waktu shalat maghrib. “Darimana Kang, oh Malaysia. Apa kabar? Saya juga alumni Malaysia. Saya studi di Universiti Sains Malaysia Penang untuk Master, dan International Islamic University Malaysia di Gombak untuk Doktor,” ujar Dosen I. ”Darimana, Mas, oh Malaysia. Wilujeng Sumping. Saya juga alumni Malaysia. Saya tamat Master dari UKM Malaysia bidang medical. Satu angkatan dengan Dr. Muszaphar Shukor, kosmonot Malaysia pertama yang terbang ke luar angkasa melalui misi luar angkasa Rusia. Hebat sekali Malaysia sudah bisa mengirim orang ke langit luar. Indonesia sudah dua puluh tahun punya calon astronot, tapi tak kunjung berangkat dengan NASA, ” ujar Dosen II.“Darimana Pak, ah Malaysia. Selamat Datang. “Terus terang… dosen ini berbisik di telinga Rashid lalu melanjutkan kalimatnya… “Saya adalah penggemar berat Siti Nurhaliza dan Nurul Izzah Anwar Ibrahim. Saya sempat patah hati ketika mereka menikah di usia muda.”, ujar Dosen III. Rashid tersenyum geli lalu berkata dalam hati. Benar kata si supir taksi. Tapi ternyata tidak hanya mahasiswa, dosen-pun ternyata penggemar berat kedua puan Malaysia ini. ”Darimana Pak, Ah Malaysia, saya sering ke Malaysia dan kagum betul dengan KLIA , Menara Petronas- KLCC , dan MRT di KL. Dahysat !” ujar Dosen IV. ”Where are you from, Sir, ah Malaysia. Ahlan wasahlan! Saya pengguna setia mobil Proton Malaysia di Bandung, murah tapi tangguh!” lanjut Dosen V.

(Masjid Negeri Penang, Air Itam)
Usai workshop. Agung menunaikan shalat jama qashar di Masjid Negeri Penang, Air Itam. Agung melihat banyak jama`ah shalat menggunakan sarung Samarinda. Juga lima kelompok anak kecil sedang mengaji Al Qur`an dibimbing seorang Ustadz. Penasaran, Agung mendekati. Ah rupanya mereka menggunakan metode Qira`ati dari Indonesia. Ini dimana sih, Penang atau Jakarta? Agung jadi bingung sendiri.

(Masjid UNPAD, Dipati Ukur)
Usai workshop, Rashid menunaikan shalat jama qashar di masjid UNPAD, Dipati Ukur. Usai shalat, sayup-sayup didengarnya satu grup mahasiswa berlatih Nasyid Raihan dengan riangnya. Demi Masa, Ashabul Kahfi, Senyum, dan sederet Nasyid Raihan mereka lafazkan dengan lancarnya. Seusai Raihan, mereka melantunkan nasyid Secerah Pewarna dari The Dzikr Al Arqam. Juga dengan lancar. Raihan dan The Dzikr-Al Arqam adalah dua grup nasyid dari Malaysia yang kini sudah mulai jarang dilagukan oleh mahasiswa Malaysia. Rashid jadi ragu sendiri, benarkah aku sekarang sedang di Bandung?

(Flight Air Asia Penang-Bangkok)
Di dalam Boeing 737-400 yang membawanya ke Bangkok. Tiba-tiba Agung merasa malu jadi orang Indonesia. Pesawat yang membawanya di-delay take off selama enam jam karena bandara diliputi asap pekat. Tanpa bertanya pada siapapun Agung sudah tahu bahwa asap tersebut berasal dari pembakaran hutan di Sumatera. Ia lebih malu lagi ketika buang air kecil di tandas (toilet) bandara. Karena ia menjumpai banyak kata-kata jorok dan vulgar dalam bahasa Indonesia dituliskan di pintu tandas. Menyediakan cewek-lah, gigolo lah, dan lain-lain. Dan ia yakin penulisnya orang Indonesia, karena bahasa yang digunakan khas Jakarta dan juga khas Medan. Dan ia semakin malu ketika membaca kepingan berita di koran Utusan Malaysia yang berbahasa Melayu. ”Banjir besar terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, Indonesia. Kerajaan Malaysia mengirim tim medis daripada jabatan kesihatan aam dan daripada Bulan Sabit Merah Malaysia untuk menolong mangsa banjir di Jakarta dan sekitarnya.”

(Flight Air Asia Bandung-Kuala Lumpur-Bangkok)
Di dalam Airbus A 320 yang mengantarnya ke Bangkok. Tiba-tiba Rashid jadi malu sebagai orang Malaysia. Shame on me!, ujarnya berulangkali. Ia baru saja membaca Koran REPUBLIKA bahwa ada banyak TKW Indonesia yang pulang ke Indonesia dalam keadaan babak belur. Disiksa oleh majikannya di Kuching, Johor, ataupun Penang. Razia pasukan RELA (polisi swasta Malaysia) juga semakin ganas. Mereka tak segan menangkap dan menyiksa orang Indonesia. Sering terjadi kasus salah tangkap. Dikira TKI ternyata pelajar ataupun eksekutif Indonesia. Dan Rashid menjadi semakin malu ketika pada koran yang sama ia menemukan berita : “Banjir besar terjadi di Johor, Pahang, dan Kelantan. Korban tewas puluhan orang. Pemerintah Indonesia dan Palang Merah Indonesia mengirimkan Tim Medis, obat-obatan dan bantuan sandang pangan untuk menolong korban banjir”

(Bandara Suvarnabhumi, Bangkok)
Agung bertemu Rashid di ruang pengambilan bagasi bandara Suvarnabhumi. Pesawat Agung dari Penang berselisih sepuluh menit saja dengan pesawat Rashid dari Kuala Lumpur. Awalnya mereka sama-sama kaget dan ingin membuang muka. Namun tak sempat lagi karena sudah begitu dekat. Akhirnya mereka sama-sama berucap, ”Assalamualaikum, sawasdee khap, sabai dee mai?” .

Mereka tertawa sendiri karena mengatakan kalimat yang sama secara bersamaan. Selanjutnya mereka berbasi-basi sejenak sebelum akhirnya Agung berkata jujur : ”Rashid, ternyata Malaysia tak begitu buruk. Aku bertemu banyak orang baik di Penang. Malaysia memang Truly Asia.” ”Sama, Gung, Indonesia juga tak begitu buruk. Aku merasa feel at home di Bandung. Indonesia memang Bhinneka Tunggal Ika,” Rashid berkata sama jujurnya . ”Kalau begitu, bagaimana kalau kita ”pacaran” lagi nih?” tantang Agus. ”Siapa takut?” jawab Rashid sambil terbahak dan menonjok bahu sahabatnya itu.

”I hate Indon!” Teriak Agung.
”Malingsia!” Balas Rashid.
Tak jelas,siapa orang Indonesia dan siapa orang Malaysia.

Mahidol, Salaya 20 Desember 2007