Kula Ndherek, Gus
Oleh: Ahmad Tohari
sumber:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/02/93511/Kula.Ndherek..Gus
ADALAH Edy Yurnaedi almarhum. Suatu siang, pada 1987, wartawan Majalah
Amanah itu bergegas masuk ke ruang redaksi di Jalan Kramat VI Jakarta.
Dengan wajah gembira dia meminta beberapa redaktur, di antaranya saya,
mendengarkan laporannya. Dia baru selesai mewancarai KH Abdurrahman
Wahid di Kantor PBNU. Topik wawancaranya adalah pluralitas internal umat
Islam Indonesia.
Maka rekaman wawancara pun diputar. Intinya, Gus Dur mengatakan,
kemajemukan di dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi
kenyataan sejak berabad lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam
Indonesia menganut Mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengambil mazhab
lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, Ahmadiyah, abangan pun ada. Menurut
Gus Dur tingkat penghayatan umat pun amat bervariasi dari yang hanya
berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang bertingkat kiai.
Namun, ujar Gus Dur kemajemukan itu harus tetap terikat dalam ukhuwah
islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya, sesama umat Islam
yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling
menyambung rasa saling hormat.
Gus Dur sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan.
Baginya, semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya
muslim. Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan
kula nuwun (Jawa), punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena
syahadatnya.
”Kalau begitu Gus, ucapan assalamu alaikum bisa diganti dengan selamat
pagi?” tanya Edy Yurnaedi.
”Ya bagaimana kalau petani atau orang-orang lugu itu bisanya bilang kula
nuwun, punten atau selamat pagi? Mereka kan belum terbiasa mengucapkan
kalimat dalam bahasa Arab kayak kamu?”
Itulah inti pendapat Gus Dur dalam wawancara dengan Edy Yurnaedi. Edy
mengusulkan wawancara itu dimuat dalam Majalah Amanah edisi depan dengan
penekanan bahwa Gus Dur menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan
selamat pagi. Alasannya cukup konyol. Menurut Edy, Majalah Amanah yang
kala itu baru berumur satu tahun harus membuat gebrakan dalam rangka
menarik perhatian pasar. ”Kan nanti Gus Dur akan membantah. Dan bantahan
itu kita muat pada edisi berikut. Nah, jadi malah ramai kan? Ini cuma
taktik pasar kok,” Edy ngotot.
Drs H Kafrawi Ridwan MA yang waktu itu jadi pemimpin redaksi lebih suka
mengambil sikap momong kepada yang muda. Maka usul Edy ditawarkan kepada
rapat. Tentu ada yang pro dan kontra. Celakanya lebih banyak yang pro.
Mereka beralasan seperti Edy, cuma taktik pemasaran, dan Gus Dur mereka
yakini akan membantah.
Dan terbitlah edisi assalamu alaikum itu. Benar saja, masyarakat riuh.
Gus Dur menuai kecaman. Oplah majalah terdongkrak. Dan Edy melanjutkan
aksinya dengan mewawancarai kembali Gus Dur. Diharapkan Gus Dur akan
membantah bahwa dia telah menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan
selamat pagi. Tapi Edy amat terkejut ketika Gus Dur dengan enteng
menjawab, buat apa membantah. ”Biarin, gitu aja kok repot.”
Edy pulang ke kantor dengan wajah lesu. Oleh pemimpin redaksi dia
dianggap telah gagal menyukseskan strategi pemasaran. Memang, oplah naik
tetapi makan korban berupa terjadinya fitnah di tengah masyarakat.
Secara pribadi saya pernah minta Gus Dur berbuat sesuatu untuk
menghentikan fitnah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tapi dasar Gus
Dur. Dia tetap pada pendirian akan membiarkan fitnah itu berhenti sendiri.
Sayang fitnah itu ternyata berumur panjang. Setelah Gus Dur wafat
kemarin masih terdengar suara penyiar yang mengatakan Gus Dur pernah
ingin mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Maafkan kami para
wartawan dan redaksi Majalah Amanah yang telah bermain api yang ternyata
membakar kami sendiri. Gus Dur sendiri tetap berjiwa besar, tetap
bersahabat, meskipun banyak yang terpaksa salah faham. Gus Dur tidak
pernah mengusulkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Untuk
hal ini saya akan menjadi saksi bagi Gus Dur.
Dia, dengan kebesaran jiwa hanya ingin mengajak siapa pun untuk
menghargai sesama muslim yang bisanya mengucap salam dengan kula nuwun,
punten, atau selamat pagi. Ini adalah sikap dasar Gus Dur yang menyintai
semua muslim dari yang hanya bermodal khitan sampai yang bergelar kyai.
Bahkan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) yang berkembang
dari iman membuat Gus Dur memiliki rasa cinta kepada siapa saja, tak
pandang ras, agama, maupun status sosial. Sugeng tindak, Gus, insya
Allah kula ndherek.[]